Ki Manteb Soedharsono Saat ini Ki Manteb berdomisili di Dusun Sekiteran, Kelurahan Doplang, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.(lahir di Palur 31 Agustus 1948 umur 66 tahun))Karena keterampilannya dalam memainkan wayang, ia pun dijuluki para penggemarnya sebagai Dalang Setan. Ia juga dianggap sebagai pelopor perpaduan seni pedalangan dengan peralatan musik modern.
Manteb Soedharsono adalah putra seorang dalang pula, bernama Ki Hardjo Brahim.
Ki Hardjo Brahim adalah seniman tulen yang tidak memiliki pekerjaan
lain kecuali mendalang. Manteb sebagai putra pertama dididik dengan
keras agar bisa menjadi dalang tulen seperti dirinya. Ki Hardjo sering
mengajak Manteb ikut mendalang ketika ia mengadakan pertunjukan.
Sementara itu, ibu Manteb yang juga seorang seniman, penabuh gamelan,
lebih suka jika putranya itu memiliki pekerjaan sampingan. Itulah
sebabnya, Manteb pun disekolahkan di STM Manahan, Sala. Namun sejak
kecil Manteb sudah laris sebagai dalang sehingga pendidikannya pun
terbengkalai. Akhirnya, ia memutuskan untuk berhenti sekolah untuk
mendalami karier mendalang.
Untuk meningkatkan keahliannya, Manteb banyak belajar kepada para
dalang senior, misalnya kepada dalang legendaris Ki Narto Sabdo pada
tahun 1972, dan kepada Ki Sudarman Gondodarsono yang ahli sabet, pada tahun 1974.
Pada tahun 70 dan 80-an, dunia pedalangan wayang kulit dikuasai oleh Ki Narto Sabdo dan Ki Anom Suroto.
Ki Manteb berusaha keras menemukan jati diri untuk bisa tetap eksis
dalam kariernya. Jika Ki Narto mahir dalam seni dramatisasi, sedangkan
Ki Anom mahir dalam olah suara, maka Ki Manteb memilih untuk mendalami
seni menggerakkan wayang, atau yang disebut dengan istilah sabet.
Ki Manteb mengaku hobi menonton film kung fu yang dibintangi Bruce Lee dan Jackie Chan, untuk kemudian diterapkan dalam pedalangan. Untuk mendukung keindahan sabet
yang dimainkannya, Ki Manteb pun membawa peralatan musik modern ke atas
pentas, misalnya tambur, biola, terompet, ataupun simbal. Pada awalnya
hal ini banyak mengundang kritik dari para dalang senior. Namun tidak
sedikit pula yang mendukung inovasi Ki Manteb.
Keahlian Ki Manteb dalam olah sabet tidak hanya sekadar adegan
bertarung saja, namun juga meliputi adegan menari, sedih, gembira,
terkejut, mengantuk, dan sebagainya. Selain itu ia juga menciptakan
adegan flashback yang sebelumnya hanya dikenal dalam dunia
perfilman dan karya sastra saja. Ia berpendapat jika ingin menjadi
dalang sabet yang mahir, maka harus bisa membuat wayang dengan tangannya
sendiri.
Ki Manteb mulai mendalang sejak kecil. Namun, popularitasnya sebagai seniman tingkat nasional mulai diperhitungkan publik sejak ia menggelar pertunjukan Banjaran Bima sebulan sekali selama setahun penuh di Jakarta pada tahun 1987.
Ketika Ki Narto Sabdo meninggal dunia tahun 1985, seorang penggemar beratnya bernama Soedharko Prawiroyudo merasa sangat kehilangan. Soedharko kemudian bertemu murid Ki Narto, yaitu Ki Manteb yang dianggap memiliki beberapa kemiripan dengan gurunya itu. Ki Manteb pun diundang untuk mendalang dalam acara khitanan putra Soedharko.
Sejak itu, hubungan Sudarko dengan Ki Manteb semakin akrab. Sudarko pun bertindak sebagai promotor pergelaran rutin Banjaran Bima di Jakarta yang dipentaskan oleh Ki Manteb. Pergelaran tersebut diselenggarakan setiap bulan sebanyak 12 episode sejak kelahiran sampai kematian Bima, tokoh Pandawa.
Ki Manteb mengaku, Banjaran Bima merupakan tonggak bersejarah dalam hidupnya. Sejak itu namanya semakin terkenal. Bahkan, pada tahun 90-an, tingkat popularitasnya telah melebihi Ki Anom Suroto, yang juga menjadi kakak angkatnya.
Pada tanggal 4-5 September 2004, Ki Manteb membuat rekor dengan mendalang 24 jam tanpa henti dengan lakon Baratayudha. Pertunjukannya ini bertempat di RRI Semarang, Jalan A. Yani 144-146 Semarang. Berkat pementasannya ini, ia mendapatkan rekor MURI pentas wayang kulit terlama. Dan hebatnya, meskipun telah mendalang selama 24 jam itu, dokter yang memeriksa kesehatan Ki Manteb setelah pentas menyatakan bahwa kondisi Ki Manteb sangat prima.
Ki Manteb mulai mendalang sejak kecil. Namun, popularitasnya sebagai seniman tingkat nasional mulai diperhitungkan publik sejak ia menggelar pertunjukan Banjaran Bima sebulan sekali selama setahun penuh di Jakarta pada tahun 1987.
Ketika Ki Narto Sabdo meninggal dunia tahun 1985, seorang penggemar beratnya bernama Soedharko Prawiroyudo merasa sangat kehilangan. Soedharko kemudian bertemu murid Ki Narto, yaitu Ki Manteb yang dianggap memiliki beberapa kemiripan dengan gurunya itu. Ki Manteb pun diundang untuk mendalang dalam acara khitanan putra Soedharko.
Sejak itu, hubungan Sudarko dengan Ki Manteb semakin akrab. Sudarko pun bertindak sebagai promotor pergelaran rutin Banjaran Bima di Jakarta yang dipentaskan oleh Ki Manteb. Pergelaran tersebut diselenggarakan setiap bulan sebanyak 12 episode sejak kelahiran sampai kematian Bima, tokoh Pandawa.
Ki Manteb mengaku, Banjaran Bima merupakan tonggak bersejarah dalam hidupnya. Sejak itu namanya semakin terkenal. Bahkan, pada tahun 90-an, tingkat popularitasnya telah melebihi Ki Anom Suroto, yang juga menjadi kakak angkatnya.
Pada tanggal 4-5 September 2004, Ki Manteb membuat rekor dengan mendalang 24 jam tanpa henti dengan lakon Baratayudha. Pertunjukannya ini bertempat di RRI Semarang, Jalan A. Yani 144-146 Semarang. Berkat pementasannya ini, ia mendapatkan rekor MURI pentas wayang kulit terlama. Dan hebatnya, meskipun telah mendalang selama 24 jam itu, dokter yang memeriksa kesehatan Ki Manteb setelah pentas menyatakan bahwa kondisi Ki Manteb sangat prima.
Prestasi
- Pada tahun 1982 Ki Manteb menjadi juara Pakeliran Padat se-Surakarta. Prestasi tersebut membuat namanya mulai menanjak.
- Tahun 1995 Ki Manteb mendapat penghargaan dari Presiden Soeharto berupa Satya Lencana Kebudayaan.
- Pada awal tahun 1998 Ki Manteb menggelar pertunjukkan kolosal di Museum Keprajuritan Taman Mini Indonesia Indah, dengan lakon Rama Tambak. Pergelaran yang sukses ini mendapat dukungan dari pakar wayang STSI.
- Pada tahun 2004 Ki Manteb memecahkan rekor MURI mendalang selama 24 jam 28 menit tanpa istirahat.
- Tahun 2010 penghargaan “Nikkei Asia Prize Award 2010” dalam bidang kebudayaan dianugerahkan kepada Ki Manteb Soedharsono karena kontribusinya yang signifikan bagi kelestarian dan kemajuan kebudayaan Indonesia terutama wayang kulit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar