OLEH
RICHADIANA KARTAKUSUMA (Arkeolog Nasional)
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng
kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas
permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan
111o07,. 52’65’’ Bujur Barat.
Candi ini terletak di dukuh Berjo, desa
Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan
Surakarta, Jawa Tengah. Berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota
Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.
ini
digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena
banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.
CANDI yang terletak di Desa Mberjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah, itu sering disebut “The Last Temple” karena
selepas runtuhnya Majapahit pada abad XV tidak ditemui pembangunan candi
lagi.
Candi Sukuh menjadi saksi terakhir Kejayaan Hindu di Jawa. Candi di
Jawa Tengah umumnya menghadap ke Timur. terkecuali candi Sukuh.
Candi yang satu ini seperti halnya kebanyakan candi yang ada di Jawa
Timur yakni menghadap Barat. Jadi untuk memasuki candi Sukuh, orang
menuju ke arah Timur, tempat Matahari terbit. Padahal Matahari dipuja
sejak jaman prehistori.
Dengan begitu ada pengaruh asli dalam pembuatan candi Sukuh, berbeda
dengan candi lainnya di Jawa Tengah yang banyak dipengaruhi India.
Sekilas Tentang Candi Sukuh – Candi Sukuh
dibangun dalam tiga susunan trap (teras), dimana semakin kebelakang
semakin tinggi. Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura
ini ada sebuah candrasangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura
buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang
raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1.
Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.
Di lantai dasar dari gapura ini terdapat
relief yang menggambarkan phallus berhadapan dengan vagina. Relief ini
mengandung makna yang mendalam. Relief ini mirip lingga-yoni dalam agama
Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati).
Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan.
Relief tersebut sengaja dipahat di lantai pintu masuk dengan maksud
agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang
melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”.
Pada teras kedua juga terdapat gapura dan terdapat patung penjaga
pintu atau dwarapala dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya
lagi.
Pada gapura terdapat candrasangkala yang berbunyi gajah wiku anahut buntut.
Artinya “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8,
7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun
1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir
duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama !
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran
besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta
patung-patung di sebelah kanan.
Tepat di atas candi utama di bagian
tengah terdapat sebuah bujur sangkar kelihatannya merupakan tempat
menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio
yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk
bersembahyang.
Di sebelah selatan jalan batu, di pada
pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala.
Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan
Sadewa.
Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat”
Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang
Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang bidadari
dikayangan dengan nama bethari Uma Sudamala maknanya ialah yang telah
berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil “ngruwat”.
Cerita Sudamala diambil dari Kidung
Sudamala.Pada lokasi ini terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan
bagian dari cerita pencarian Tirta Amerta yang terdapat dalam kitab
Adiparwa, kitab pertama Mahabharata.
Namun anehnya, patung Garuda ini memiliki
tangan dan kaki, sehingga ada yang bilang mirip alien.. Pada bagian
ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti yang dikenal dengan prasasti
sukuh. Tulisan pada prasasti adalah sebagai berikut :
Prasasti Sukuh
Lawase rajeg wsi du
K penerep kepeleg
Ne wong medang
Ma karubuh alabuh geni ha
Rebut bumi kacaritane
Babajag mara mari setra
Hanang ta bango
1363
Kata Rajegwesi dimungkinkan sama dengan
Pagerwesi yaitu suatu nama daerah di Mojokerto. Karena kata ”Rajeg” sama
artinya dengan kata “pager”. Medang juga adalah nama tempat. Kata
“babajang” berarti “anak bajang” yaitu anak yang sejak kecil rambutnya
belum pernah dicukur dan harus diruwat. Kata “setra” berarti tanah
lapang atau tempat upacara/tempat ruwatan. Kata “bango” berarti “burung
pemakan bangkai/daging”, bisa juga berrti burung garuda. Jadi kalimat
“alabuh geni” bisa diartikan “berjuang (merebut daerah)”.
Dengan begitu prasati tersebut bercerita
tentang seorang (penguasa rajeg wesi) yang berusaha merebut kembali
daerahnya yang dikuasai musuh (penguasa medang) denagan cara mencari
kekuatan spiritual dengan membangun candi sukuh yang memuat cerita
ruatan. (Hengki H. Dkk 2000 : 62-63)
Kemudian sebagai bagian dari kisah
pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) di bagian ini terdapat pula tiga
patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu.
Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan
ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah
piramida puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang
diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari Tirta Amerta.
Bangunan Utama Candi Sukuh – Candi Sukuh
adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di Secara
administrasi masuk wilayah kelurahan Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini
dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan
lingga dan yoni.
Candi ini digolongkan kontroversial
karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek
lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. Candi Sukuh telah
diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak
tahun 1995.
Sejarah singkat penemuan – Situs candi Sukuh
dilaporkan pertama kali pada masa
pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson,
Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford
Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of
Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842,
Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama
dimulai pada tahun 1928.
Lokasi candi – Lokasi candi Sukuh
terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186
meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang
Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di Dukuh
Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota
Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.
Struktur bangunan dan denah Candi Sukuh –
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada
para pengunjung.
Kesan yang didapatkan dari candi ini
sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa
Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung
mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya
Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan
bentuk-bentuk piramida di Mesir.
Kesan kesederhanaan menarik perhatian
arkeolog termashyur Belanda, W.F. Stutterheim, pada tahun 1930. Ia
mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen.
Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh
bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari
kalangan keraton. Kedua candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga
kurang rapi. Ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang
keruntuhannya Majapahit, sehingga tidak memungkinkan untuk membuat candi
yang besar dan megah.
Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki gapura
terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun
tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di
atasnya.Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab
batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit.
Teras pertama candi – Gapura utama candi
Sukuh – Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada
sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong.
Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa
manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka
didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.
Teras kedua candi – Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan
kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala,
didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas
bentuknya lagi.
Gapura sudah tidak beratap dan pada teras
ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat
sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku
anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta
menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika
dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi
jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan
gapura di teras pertama!
Teras ketiga candi= Pada teras ketiga ini
terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di
sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung
ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang
relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui.
Selain itu lorongnya juga sempit.
Konon arsitektur ini sengaja dibuat
demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut
beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis.
Menurut cerita, jika seorang gadis yang
masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah.
Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak
ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.
Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian.
Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan,
dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan
untuk bersembahyang.
Kemudian pada bagian kiri candi induk
terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan mitologi utama Candi
Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala.
Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.
Relief pertama – Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa,
saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa
Lima. Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya
yang kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil
dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu.
Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama
ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini
menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang
punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang
tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.
Relief kedua – Relief kedua – Pada relief
kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang
raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa
mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga yang sedang
murka dan mengancam akan membunuh Sadewa.
Kalantaka dan Kalañjaya adalah jelmaan
bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati Dewa sehingga harus
terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah
pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan
Durga.
Di belakangnya terlihat antara lain ada
Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon
sebelah kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini
kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit)
tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.
Relief ketiga – Pada bagian ini
digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar berhadapan
dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di
pertapaan Prangalas. Sadewa menyembuhkannya dari kebutaannya.
Relief keempat = Adegan di sebuah taman
indah di mana sang Sadewa bercengkerama dengan Tambrapetra dan putrinya
Ni Padapa serta seorang punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra
berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.
Relief kelima – Lukisan ini merupakan
adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka dan
Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat
kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pañcanakanya.
Patung-patung sang Garuda – Prasasti
sukuh- Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang
merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang
terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian
ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti.
Kemudian sebagai bagian dari kisah
pencarian amerta tersebut di bagian ini terdapat pula tiga patung
kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk
kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain
sebagai tempat menaruh sesajian.
Sebuah piramida yang puncaknya terpotong
melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk
mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.
Beberapa bangunan dan patung lainnya = Selain candi utama dan
patung-patung kura-kura, garuda serta relief-relief, masih ditemukan
pula beberapa patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah
berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan berwahana
gajah.
Lalu ada pula bangunan berelief tapal
kuda dengan dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kira dan kanan
yang berhadapan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini
melambangkan rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan
kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Namun hal ini
belum begitu jelas.
Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi utama yang disebut
candi pewara. Di bagian tengahnya, bangunan ini berlubang dan terdapat
patung kecil tanpa kepala. Patung ini oleh beberapa kalangan masih
dikeramatkan sebab seringkali diberi sesajian.
Referensi
•Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka, 1952, Kapustakan Djawi. Djakarta: Djambatan.
•Suwarno Asmadi (Pemandu Wisata) dan Haryono Soemadi, 2004, Candi Sukuh.
Antara Situs Pemujaan dan Pendidikan Seks. Surakarta: C.V. Massa Baru.
• P.J. Zoetmulder, 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan